TIGA PROBLEMA HUKUM
DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI EKONOMI
Disusun Oleh:
Desy Puspita
16070030
KELAS MANAJEMEN A
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
Mata Kuliah : Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Dosen: Ibu Niru Anita Sinaga, Dr., SH, MH
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut
nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Penulis ucapkan puja dan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
“Tiga Problema Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional Di Era Globalisasi
Ekonomi”.
Makalah ini
telah penulis susun dengan maksimal dan disusun untuk memenuhi memenuhi salah
tugas mata kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi.
Terlepas dari
semua itu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis
dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah
tentang “Tiga Problema Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional Di Era
Globalisasi Ekonomi “ ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.
Jakarta, 04 Juni2017 Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH ………………………………. 1
B.
RUMUSAN MASALAH ….………..….………..….………..…... 1
C.
TUJUAN PENULISAN ….……….….………..….…….…..….… 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI TIGA
PROBLEMA TERKAIT KEGIATAN TRANSAKSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL……………………………. 3
B. APA ITU
YURISDIKSI PENGADILAN DAN ARBITRASE … 4
C. HUKUM YANG
BERLAKU DAN KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL………………………………..………………… 13
D. PENGAKUAN DAN
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE.…………………………………………………………. 17
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN ………..….………..….………..….………..….….. 22
DAFTAR PUSTAKA
CATATAN KAKI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Transaksi bisnis internasional pada
dasarnya adalah transaksi yang berkaitan dengan kegiatan komersial yang
melintas batas negara yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang berasal
dari dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Adanya perbedaan sistem hukum
tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan kewarganegaraan individu atau
juga perbedaan kebangsaan perusahaan atau badan hukum yang melakukan transaksi
tersebut. Transaksi bisnis ini merupakan bagian dari hukum perdata
internasional (private international law). Ada tiga problema hukum yang harus
dicermati dan diantisipasi baik oleh pelaku bisnis internasional sendiri,
notaris, maupun para penegak hukum seperti pengacara dan hakim. Tiga persoalan
pokok tersebut adalah:1
Lembaga mana yang memiliki
kewenangan (kompetensi atau yurisdiksi) jika terjadi perselisihan di antara
pihak-pihak yang mengadakan transaksi;Hukum yang diberlakukan terhadap transaksi
bisnis internasional; dan Pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing.
B.
Rumusan Masalah
1.
Defenisi tiga problema hukum terkait dengan kegiatan transaksi perdagangan
internasional
2.
Apa itu Yurisdiksi
Pengadilan dan Arbitrase?
3.
Hukum dan Kontrak
Bisnis Internasional manakah yang berlaku ?
4. Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan atau
Arbitrase ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Defenisi tiga problema hukum terkait dengan
kegiatan transaksi perdagangan internasional
2. Mengetahui Apa itu Yurisdiksi Pengadilan dan Arbitrase
3. Mengetahui Hukum dan Kontrak Bisnis Internasional manakah
yang berlaku
4. Mengetahui Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
atau Arbitrase
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi tiga problema hukum terkait dengan kegiatan transaksi
perdagangan internasional
Ada tiga problema hukum terkait
dengan kegiatan transaksi perdagangan internasional yaitu masalah kompetensi
lembaga hukum yang berwenang atau yurisdiksi, masalah hukum mana yang akan
dipilih, dan masalah implementasi atau pelaksanaan putusan pengadilan asing. Ketiga
masalah tersebut bisa terjadi akibat adanya perbedaan sistem hukum dari negara
para pelaku bisnis disamping juga alasan-alasan politik tertentu dari
negara-negara maju untuk memaksa negara-negara berkembang menerima begitu saja
aturan-aturan main dalam transaksi bisnis internasional yang menguntungkan
mereka.
Kecenderungan inilah tampaknya
yang mendorong munculnya penilaian bahwa liberalisasi perdagangan tidak lebih
merupakan bentuk penjajahan baru negara-negara maju atas negara-negara
berkembang. Dilema bagi negara berkembang ialah jika melawan arus globalisasi
perdagangan risikonya adalah terasing atau terkucilkan, sedangkan juga
mengikuti arus globalisasi berarti menghadapi masalah ketimpangan perdagangan
yang akan menciptakan malapetaka ekonomi bagi negara-negara berkembang.
Malapetaka terjadi karena negara berkembang secara infrastruktur hukum, politis
dan ekonomis sangat tidak siap menghadapi globalisasi.
B.
Yurisdiksi Pengadilan dan Arbitrase
Yurisdiksi
pengadilan di dalam HPI merupakan kekuasaan dan kewenangan pengadilan untuk
memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk
diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum
asing yang relevan.
Untuk
menjalankan yurisdiksi yang diakui secara internasional, pengadilan suatu
negara (propinsi atau negara bagian dalam sistem hukum negara federal) harus
mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan yang
dipersengketakan.
Di
dalam sistem common law, terdapat beberapa kategori yurisdiksi pengadilan. Jika
suatu gugatan berkaitan dengan hak-hak atau kepentingan-kepentingan semua orang
mengenai suatu hal atau benda, pengadilan dapat secara langsung menjalankan
kekuasaannya terhadap suatu hal atau benda tersebut meskipun pengadilan mungkin
tidak mempunyai yurisdiksi terhadap orang-orang yang dan kepentingannya
tersebut terpengaruh. Yurisdiksi pengadilan semacam ini disebut yurisdiksi in
rem.2 Tujuan utama gugatan dalam in rem adalah memenangkan gugatan mengenai res
(benda).3 Yurisdiksi pengadilan didasarkan pada lokasi atau tempat objek yang
terletak di dalam wilayah yang akan diberlakukan yurisdiksi.4
Jika
gugatan dimaksudkan untuk meminta tanggung jawab seseorang atau membebankan
kewajiban terhadap seseorang, pengadilan memberlakukan yurisdiksi in personam
dan gugatan tersebut merupakan gugatan in personam.5
Di
dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku dewasa ini di Indonesia yang
pengaturannya terdapat Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) tidak terdapat ketentuan khusus mengenai
kompetensi pengadilan (yurisdiksi) pengadilan Indonesia dalam mengadili
perkara-perkara perdata yang mengandung elemen asing.
Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR,
tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada pengadilan negeri di tempat
terguggat bertempat tinggal (woonplaats) atau jika tidak diketahui tempat
tingalnya, tempat sebenarnya ia berada (werkelijk verbliff).
Kemudian
jika tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah
suatu pengadilan negeri, menurut pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada
pengadilan negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal.
Menurut
Sudargo Gautama, ketentuan penting yang ada hubungannya dengan perkara yang
bersifat HPI terdapat dalam pasal 118 ayat (3) HIR.6 Jika tergugat tidak
mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak
dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat penggugat
(forum actoris). Kemudian apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda tidak
bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di mana benda
tetap itu terletak (forum rei sitae).
Di
dalam Pasal 118 ayat (4) terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa jika terdapat
pilihan domisili, gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang telah dipilih
tersebut.
Di dalam yurisprudensi
Indonesia sering ditemukan perkara-perkara dimana tergugat tidak mempunyai
tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, sehingga prosedur khusus telah
dilakukan.7
Berkenaan
dengan hal ini bisa dikaji ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 sub 8
Reglement op de Burgerlijk Rechtsverordering (RV)8 mengenai Dagvaarding yang
harus disampaikan kepada pihak tergugat yang bertempat tinggal di luar
Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di
Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat
pengadilan dimana seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan
kata-kata geizen dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan ekspolit untuk
yang bersangkutan kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim.9
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa prinsip penyampaian gugatan harus
dilakukan di tempat tinggal pihak tergugat. Kewenangan mengadili pertama-tama
didasarkan pada asas the basis of presence, yakni pada umumnya yurisdiksi suatu
negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang dan benda yang berada
dalam batas-batas wilayah negaranya. Pengecualiannya adalah berkaitan dengan
imunitas negara berdaulat dan staf diplomatik.10
Selain
itu, principle of effectiveness juga memegang peranan penting, disamping
pertimbangan-pertimbangan untuk memberi perlindungan sewajarnya terhadap semua
orang yang mencari keadilan. Prinsip efektifitas berarti, bahwa pada umumnya
hakim hanya akan memberi putusan yang pada hakikatnya akan dapat dilaksanakan
kelak. Tentunya yang paling terjamin apabila gugatan diajukan dihadapan
pengadilan dimana pihak tergugat (dan benda-bendanya) berada.11
Masing-masing
negara memiliki hukum acara. Hukum acara ini terkadang memiliki persamaan,
tetapi terkadang juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan ini
banyak dipengaruhi tradisi hukum yang diikuti kondisi masyarakat dan sejarah
hukum negara yang bersangkutan.
Untuk
mengantisipasi berbagai kesulitan yang mungkin timbul di kemudian hari, sejak
awal permasalahan ini diselesaikan dengan merumuskan klausul pilihan yurisdiksi
(choice of jurisdiction) atau pilihan forum (choice of forum) di dalam kontrak
bisnis yang bersangkutan. Pilihan yurisdiksi ini bermakna bahwa, para pihak di
dalam kontrak sepakat memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan
perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah pihak.
Pilihan
yirusdiksi ini dapat mengacu kepada pengadilan di salah satu negara dari para
pihak yang mengadakan transaksi. Pilihan yurisdiksi ini juga dapat merujuk
kepada satu lembaga arbitrase di negara tertentu yang dilaksanakan di negara
tertentu.
Pada
umumnya para pihak dianggap mempunyai kebebasan untuk memilih forum. Mereka
bisa menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih hakin lain. Namun
demikian, tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi tidak
berwenang bilamana menurutkaidah-kaidah hukum intern negara yang bersangkutan
hakim tidak berwenang adanya. Misalnya untuk Nederland tidak dapat dipilih
hakim jika menurut hukum Belanda sama sekali tidak ada hakim Belanda yang
relatif berwenang mengadili perkara itu.12
Menurut
Convention on the Choice of Court 1965, pilihan forum tidak berlaku bagi status
atau kewenangan orang atau badan hukum keluarga, termasuk kewajiban atau
hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan atau antara suami dan
istri; (1) permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir 1; (2)
warisan; (3) kepailitan; dan (4) hak-hak atas benda tidak bergerak.13
Salah
satu pilihan yurisdiksi tersebut dapat dilihat dalam klausula pilihan
yurisdiksi yang terdapat dalam salah satu perjanjian kerjasama usaha patungan
(joint venture agrement): Disputes. All disputes, controversies or differences
which may arise between the parties out of or in relation to or in connection
with this agreement, or the breach there of shall be settled by arbitration in
Paris, France, in accordance with the rules of conciliation and arbritation of
the international chamber of commerce at Paris.
Pengadilan
atau arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya
itu terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara
tersebut. Salah satu cara untuk menentukan berwenang atau tidaknya ia mengadili
perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti klausul pilihan yurisdiksi
yang terdapat dalam kontrak yang bersangkutan.
Bilamana
hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung elemen asing menemui adanya
pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau menunjuk kepada
badan arbitrase lain, tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka hakim yang
bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili peradilan
tersebut. Misalnya dalam sebuah kontrak ekspor-impor antara pengusaha Indonesia
dan Amerika Serikat di Indonesia, para pihak memilih yurisdiksi District of
Court di New York. Jika terjadi sengekta antara pihak-pihak, kemudian pengusaha
Indonesia itu mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
maka seharusnya hakim menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara
tersebut.
Demikian
juga apabila di dalam kontrak itu para pihak ternyata memilih forum arbitrase
di luar negeri atau di Indonesia14, maka perkaranya tidak dapat diajukan kepada
pengadilan negeri. Hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan.
Di
dalam praktik, walau sudah ada pilihan yurisdiksi yang merujuk kepada suatu
lembaga arbitrase dan dilaksanakan di luar negeri seperti Singapura atau Paris,
seringkali partner atau mitra Indonesia berusaha untuk tidak patuh kepada isi
kontrak yang bersangkutan. Mitra atau pengusaha Indonesia seringkali membawa
perselisihan yang mereka hadapi ke pengadilan negeri di Indonesia, kendati
telah ada pilihan forum. Biasanya pihak pengusaha asing mengajukan eksepsi,
yang isinya menyatakan bahwa pengadilan negeri yang memiliki kompetensi untuk
memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan karena telah ada pilihan
forum yang merujuk kepada arbitrase tertentu dan dilaksanakan di luar negeri.
Atas
eksepsi tersebut, putusan pengadilan negeri menunjukkan keragaman. Ada yang
menerima eksepsi tersebut, tetapi juga ada yang menolak eksepsi tersebut.
Dengan ditolaknya eksepsi tersebut, maka hakim melanjutkan untuk memeriksa dan
mengadili perkara yang bersangkutan. Praktik di Mahkamah Agung menunjukkan hal
yang berbeda. Mahkamah Agung konsistensi menghormati pilihan yurisdiksi yang
telah ditentukan para pihak.
Pilihan
yurisdiksi arbitrase seperti tersebut di atas telah diakui dan diatur dalam
konvensi New York tahun 1958 tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase luar negeri (Convention on the Recognition and Enfocement of Foreign
Arbitral Awards). Konvensi tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik
Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34 Tahun 1981.
Oleh
karena itu, badan-badan peradilan di Indonesia seperti juga negara lainnya yang
terikat pada konvensi tersebut harus pula menyatakan dirinya tidak berwenang
mengadili suatu sengketa dimana para pihak telah menentukan arbitrase sebagai
pilihan yurisdiksi mereka.15 Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terkait di
dalam perjanjian arbitrase.
Di
dalam kontrak-kontrak dagang internasional, terdapat kecenderungan para pihak
untuk memilih arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi.
Pilihan tersebut antara lain
didasarkan pada keunggulan atau keuntungan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, antara lain berkenaan dengan:16
·
Kebebasan, kepercayaan dan keamanan
Arbitrase pada umumnya dipilih pengusaha, pedagang
atau investor karena memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada
mereka. Selain itu, secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan tidak
menentu dan kepastian sehubungan dengan sistem hukun yang berbeda, juga
terhadap kemungkinan putusan hakim yang berat sebelah melindungi kepentingan
(pihak) lokal dari mereka yang terlibat dalam suatu perkara.
·
Keahlian arbiter (expertise)
Para pihak seringkali memilih arbitrase karena mereka
memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai
permasalahan yang dipersengketakan dibanding dengan menyerahkan kepada
pengadilan. Mereka dapat mengangkat atau menunjuk arbiter atau suat panel
arbitrase yang memiliki keahlian terhadap pokok permasalahan yang
dipersengketakan. Hal tersebut tidak dapat dijamin dalam sistem badan peradilan
umum.
·
Cepat dan hemat biaya
Sebagai suatu proses pengambilan keputusan,
arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal, dan lebih murah daripada
proses litigasi di pengadilan. Putusan arbitrase biasanya ditetapkan bersifat
final dan tidak dapat banding.17
·
Bersifat rahasia
Oleh karena arbitrase berlangsung dalam lingkungan
yang bersifat privat dan bukan bersifat umum, maka arbitrase juga bersifat
privat dan tertutup. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dari
hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan para pihak akibat
penyingkapan informasi kepada umum. Selain itu, hal ini juga dapat melindungi
mereka dari publisitas yang merugikan dan akibat-akibat, seperti kehilangan
reputasi, bisnis dan pemicu bagi tuntutan-tuntutan lainnya, yang dalam proses
ajudikasi publik dapat mengakibatkan pemeriksaan sengketa secara terbuka.
·
Bersifat non precedent
Di dalam sistem hukum yang prinsip preseden
(precedent) mempunyai pengaruh penting dalam pengambilan keputusan
mengakibatkan keputusan arbitrase pada umumnya tidak memiliki nilai atau sifat
preseden. Para pihak khawatir akan menciptakan preseden yang merugikan, yang
mungkin dapat mempengaruhi kepentingannya di masa mendatang. Karena itu, untuk
perkara yang serupa mungkin saja dihasilkan putusan arbitrase yang berbeda
sebab arbitrase tidak akan memberikan preseden.
·
Kepekaan arbitrator
Walaupun para hakim dan arbiter menetapkan ketentuan
hukum untuk membantu penyelesaian perkara yang mereka hadapi, dalam hal-hal
yang relevan, arbiter akan lebih memberikan perhatian terhadap keinginan,
realitas, dan praktek dagang para pihak. Sebaliknya, pengadilan sebagai lembaga
penyelesaian sengketa yang bersifat publik, seringkali memanfaatkan sengketa
privat sebagai tempat untuk lebih menonjolkan nilai-nilai masyarakat.
Akibatnya, dalam penyelesaian sengketa privat, pertimbangan hakim lebih
mengutamakan kepentingan umum. Kepentingan privat atau pribadi dinomorduakan.
Arbiter pada umumnya menerapkan pola nilai-nilai sebaliknya.
Di dalam praktik, pengusaha asing selain cenderung
memilih hukum negaranya sendiri (pilihan hukum) juga lebih menyukai pilihan
forum arbitrase di luar negeri. Pilihan hukum asing dan pilihan forum arbitrase
di luar negeri yang demikian itu dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa hukum
dan pengadilan di negeri berkembang kurang memberikan rasa aman bagi mereka.
Pengusaha asing seringkali khawatir terhadap hukum dan hakim negara berkembang.
Bagi mereka hukum negara berkembang sukar untuk diketahui. Ibarat orang harus
melompat di dalam kegelapan sprong in het duister atau masuk dalam rimba raya
dengan hutan belukar hingga tidak tahu jalan keluarnya.18 Mereka takut akan
hukum yang tidak diketahui tersebut. Juga ada ketakutan atau keraguan
pengadilan atau hakim yang melaksanakan hukum yang kurang diketahui oleh
mereka.
C.
Hukum yang
Berlaku dan Kontrak Bisnis Internasional
Hukum yang Berlaku dan
Kontrak Bisnis Internasional
Mengingat transaksi atau kontrak bisnis mengandung elemen-elemen asing,
maka dalam pelaksanaannya menimbulkan persoalan, hukum manakah yang berlaku
(applicable law) atas perjanjian atau kontrak tersebut?
Pada prinsipnya hukum yang
berlaku di dalam kontrak yang mengandung unsur HPI tersebut adalah hukum yang
dikipik seniri oleh para pihak (pilihan hukum). Jika pilihan hukum tersebut
tidak ditemukan dalam kontrak yang bersangkutan, dapat digunakan bantuan
titik-titik taut sekunder lainnya.
Sesuai dengan asas
kebebeasan berkontrak, para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak bebas
menentukan isi dan bentuk suatu perjanjian, termasuk untuk menentukan pilihan
hukum.19 Kemudian apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku
sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak dalam suatu kontrak.20
Pilihan hukum merupakan
masalah sentral dalam HPI berbagai sistem hukum. Ia telah diterima, baik di
kalangan akademisi maupun praktik pengadilan.
Yansen Derwanto Latif menyatakan bahwa pilihan hukum dihormati dengan
beberapa alasan:21
· Pertama,
pilihan hukum sebagaimana maksud para pihak dianggap sangat memuaskan oleh
mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah dasar murni dari hukum.
Prinsip ini berlaku di banyak negara. Hal ini merupakan fakta yang menarik,
karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian antara pengadilan di berbagai
negara.
· Kedua, pilihan
hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni memungkinkan para
pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur kontrak tersebut.
· Ketiga, akan
memberikan efesiensi, manfaat, dan keuntungan. Pilihan hukum para dilaksanakan
berdasarkan pertimbangan efisiensi. Alasan tersebut memberikan keuntungan untuk
menghindari hukum memaksa yang tidak efisien, meningkatkan persaingan hukum, dan
mengurangi ketidakpastian tentang hukum yang dipergunakan. Pemuatan pilihan
hukum dalam hukum kontrak adalah hanya satu cara dari pengurangan biaya. Suatu
alternatif mungkin adalah suat peraturan bersifat memaksa yang relatif
sederhana, seperti menentukan hukum tempat kontrak dibuat. Hal ini akan
menghemat para pihak dari biaya penentuan hukum yang berlaku, jga tidak
terdapat klausul pilihan hukum.
· Keempat,
pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan para
pihak memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka buat,
yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan atau memindahkan
peraturan yang tidak pasti dalam setiap sistem hukum.
Pilihan hukum para pihak
didasarkan pada pertimbangan bahwa pada prinsipnya seluruh sistem hukum
nasional adalah sama dan oleh karenanya dapat saling dipindahkan. Dalam kontrak
internasional, hukum privat nasional akan diterapkan apabila tidak ada pilihan
hukum oleh para pihak atau mungkin dipindahkan oleh para pihak melalui klausul
pilihan hukum kepada hukum nasional lainnya.22
Pilihan hukum ini sudah
umum. Kini orang sudah tidak meragukan lagi, bahwa para pihak dalam membuat
suatu kontrak dapat menentukan sendiri hukum bagi kontrak yang mereka buat
itu.23
Pada dasarnya para pihak
bebas untuk menentukan pilihan hukum dengan mengingat beberapa pembatasan: (1)
Tidak bertentangan dengan ketertiban umum; (2) Pilihan hukum tidak mengenai
hukum yang bersifat memaksa.
Pilihan hukum diperkenankan
berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Kebebasan tidak berarti tidak ada
batasnya. Kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan ketertiban umu (public
policy). Hukum yang memaksa (dwingen recht) juga membatasi kebebasan para pihak
dalam menentukan pilihan hukum. Pembatasan-pembatasan tersebut ditentukan oleh
keadaan sosial ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen,
pencegahan penyalahgunaan wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim
persaingan yang adil dalam ekonomi pasar.24
Pilihan hukum harus secara
tegas di dalam kontrak yang bersangkutan. Para pihak secara tegas dan jelas
menentukan hukum mana yang mereka pilih. Hal tersebut biasanya muncul dalam
klausul governing law atau applicable law yang isinya berbunyi:
The validity.
Construction and performance of this agreement shall be governed by an
interpreted in accordance with the law of Republic Indonesia; atau
This agreement
shall be governed by and constructed in all respects in accordance with the law
of England.
Keabsahan suatu kontrak
didasarkan pada hukum yang dipilih para pihak tersebut. Demikian juga apabila
terjadi perselisihan di antara para pihak baik berkenaan dengan penafsiran
maupun pelaksanaan perjanjian, hakim, atau arbiter yang mengadili perkara
tersebut juga harus merujuk kepada hukum yang dipilih para pihak tersebut.
Jika pilihan hukum itu
sudah tidak ada, akan timbul sejumlah permasalahan dalam menentkan hukum yang
berlaku. Hakim atau arbiter harus menggunakan teori yang lazim dikenal dalam
HPI. Teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Lex Loci Contractus;
(2) Mail Box Theory dan Theory of Declaration; (30) Lex Loci Solutionis; (4)
The proper Law of a Contract; (5) Teori Most Characteristic Connection.
Penentuan teori mana yang
dipakai menimbulkan permasalahan tersendiri. Penggunaan titik pertalian atau
teori tersebut sangat beragam, bergantung pada titik pertalian mana yang dianut
oleh masing-masing kaidah HPI (conflict of law rules) setiap negara. Kaidah HPI
Indonesia yang terdapat dalam Pasal 18 AB menentukan, jika tidak ada pilihan
hukum, maka hukum yang berlaku merujuk kepada hukum negara tempat
dilaksanakannya kontrak.
Untuk menghindari berbagai kesulitan yang mungkin timbul
dalam menentukan hukum yang tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi
serta untuk menghindari hukum yang tidak dikehendaki, pilihan hukum merupakan
cara terbaik untuk menentukan hukum yang berlaku itu.
D.
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Arbitrase
Asing
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pihak asing dalam penentuan
klausula pilihan yurisdiksi dan pilihan hukum umumnya lebih menghendaki
pengadilan dan hukum negara mereka. Jika tidak, mereka bersedia menggunakan
hukum Indonesia, tetapi pilihan yurisdiksinya mengacu kepada pengadilan atau
arbitrase asing yang tidak harus mengacu kepada pengadilan atau arbitrase di
negara mereka, yang penting tidak diadili di Indonesia.
Misalnya dalam salah satu kontrak bisnis internasional ditentukan
klausul sebagai berikut: This contract shall be governed by and interpreted in
accordance with the law of New York, United States of America. Kemudian pilihan
yurisdiksinya juga mengacu kepada pengadilan di negara bagian New York.
Terhadap keadaan semacam ini, akan menimbulkan persoalan sehubungan
dengan bagaimana melaksanakan putusan pengadilan tersebut jika yang kalah dalam
pengadilan adalah pengusaha Indonesia. Padahal, yang bersangkutan jelas
berdomisili di Indonesia dan tidak mempunyai harta benda di New York, apakah
putusan hakim tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia? Apakah putusan tersebut
dapat langsung dilaksanakan tanpa harus mengadilinya lagi di Indonesia dan
apakah hakim Indonesia terikap pada putusan hakim asing tersebut.
Istilah pelaksanaan (enforcement) harus dibedakan dengan istilah
pengakuan (recognition). Menurut Sudargo Gautama25 pengakuan tidak begitu
mendalam akibatnya daripada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih
banyak, seperti tindakan-tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan
dengan peradilan dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau
diharapkan tindakan demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti
mengapa orang dapat mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di
luar negeri daripada melaksanakannya.
Sudah sejak lama dianut asas bahwa putusan-putusan badan peradilan suatu
negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Putusan hakim suatu
negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja.26
Di Indonesia berlaku ketentuan bahwa putusan hakim asing tidak dapat
dilaksanakan di wilayah Indonesia.27 Putusan hakim asing tidak dapat dianggap
sama dan sederajat dengan putusan hakim Indonesia sendiri yang dapat
dilaksanakan di Indonesia. Ketentuan tersebut di atas erat kaitannya dengan
prinsip kedaulatan teritorial (principle of territorial sovereignty) dimana
berdasar asas ini putusan hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan
di wilayah negara lain atas kekuatannya sendiri.28
Pada umumnya putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Dikatakan pada umumnya, karena ada dalam hal tertentu ada putusan hakim yang
dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 436 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali
dalam hal-hal yang ditentukan oleh pasal 724 Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD) dan undang-undang lain, putusan-putusan asing tidak dapat dilaksanakan
di Indonesia. Jadi, putusan hakim asing mengenai perhitungan avarai umum
(grosse avaraij) terhadap pemilik kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh
kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasar ketentuan
tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Berlainan dengan keputusan pengadilan, umumnya keputusan arbitrase dapat
dilaksanakan di luar negeri. Secara internasional , pengaturan pelaksanaan
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing ini diatur dalam Konvensi New
York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
(Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award), yang
mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959.
Konvensi New York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi pemerintah
Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1981.
Keppres ratifikasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Peratiran Mahkamah
Agung Republik Indonesia (Perma) No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing.
Dalam perkembangannya, tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase di luar negeri telah diatur dalam undang-undang, yakni UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Rules yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian exequatur putusan
arbitrase asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma No. 1 Tahun 1990.
Rules yang menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap
berpedoman pada pasal 436 R.V. dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi
yang diatutr dalama Pasal 195-224 HIR.29 Belakangan didasarkan pada UU No. 30
Tahun 1999.
Menurut Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990, yang dimaksud
dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan
arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia,
ataupun putusan suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan yang menurut
ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase
Asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No. 34 Tahun 1981.
UU No. 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase internasional.
Menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 1999, putusan arbitrase internasional
adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik
Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase internasional.
Di sini yang menjadi ciri putusan arbitrase asing didasarkan pada faktor
wilayah atau teritorial. Setiap putusan yang dijatuhkan di luar teritorial
Republik Indonesia dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing.30
Ciri putusan arbitrase asing yang didasarkan pada faktor teritorial, tidak
menguntungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum.
Meskipun para pihak yang terlibat dalam putusan adalah orang-orang Indonesia,
dan sama-sama warga negara Indonesia, juka putusan-putusannya dijatuhkan di
luar negeri, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase
asing.31
Dalam Pasal 66 UU No. 30Tahun 1999 jo Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 1990
dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitrase atau arbiter perorangan di
suatu negara yang dengan negara indonesia ataupun bersama-sama negara Indonesia
terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan
putusan arbitrase asing. Pelaksanaannya didasarkan atas timbal balik
(respriositas);
Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanyalah terbatas pada
putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
lingkup hukum dagang;
Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.
Di dalam transaksi bisnis internasional selalu terdapat kemungkinan
bertemunya dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Tidak mungkin semua sistem
hukum tersebut diberlakukan. Di sini sangat diperlukan adanya pilihan hukum.
Ketika negosiasi dilakukan, permasalahan pilihan hukum ini harus ditempatkan
sebagai prioritas pertama. Pilihan hukum tersebut diikuti dengan pilihan
yurisdiksi. Bagi pengusaha Indonesia sebaiknya pilihan hukum dan pilihan
yurisdiksi diarahkan kepada hukum Indonesia dan pengadilan atau arbitrase
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam suatu transaksi perdagangan
internasional, pilihan hukum menjadi sebuah prioritas utama. Hal ini dilakukan
demi melindungi pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak, mencegah
terjadinya ketimpangan keadilan bagi salah satu pihak dalam perjanjian apabila
terjadi suatu perselisihan diantara mereka. Karena setiap negara memberlakukan
sistem hukum yang berbeda satu dengan yang lainnya, dan tidak mungkin untuk
memberlakukan sistem-sistem hukum yang berbeda dalam satu pengadilan.
Untuk menghindari kemungkinan
terjadinya ketimpangan dalam perselisihan dalam suatu transaksi perdagangan
internasional, arbitrase merupakan pilihan yang menguntungkan yang umum
digunakan oleh para pengusaha, pedagang, atau investor karena beberapa hal: (1)
Memberikan kebebasan, kepercayaan, dan rasa aman; (2) Arbiter memiliki keahlian
terhadap pokok permasalahan yang dipersengketakan; (3) Pengambilan keputusan
yang cepat dan hemat biaya; (4) Bersifat rahasia untuk melindungi para pihak
dari hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan para pihak akibat
penyingkapan informasi kepada umum; (5) Arbitrase bersifat non-precedent; (6)
Arbiter akan lebih memberikan perhatian terhadap keinginan, realitas, dan
praktek dagang para pihak.
Kewaspadaan dan kecermatan para
pengusaha, pedagang, atau investor sangat dibutuhkan sebelum melakukan sebuah
kontrak atau perjanjian dalam suatu transaksi perdagangan internasional demi
mencegah atau menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal yang dapat merugikan
mereka di masa mendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Freund, O. Khan, General Problem of Private
International Law, A.W. Stijhoff, Leyden, 1976.http://www.kemenpppa.go.id/
2. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional,
Alumni, Bandung, 1958.
3. Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional
Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8), Alumni, Bandung, 1978.
4. Arbitrase Dagang
Internasional, Alumni, Bandung, 1986.
5. Pengantar Hukum Perdata
Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional – Binacipta, Bandung, 1987.
6. Goodpaster, Gary et.al,
“Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di
Indonesia”, Dalam Felix O. Seobagjo dan Erman Rajagukguk, eds, Arbitrase di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.
7. Khairandy, Ridwan, Iktikad
Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
8. Harahap, M. Yahya,
Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991.
9. North, P.M. and J.J Pawcett,
Private International Law, Butterworth, London, 1987.
10. Latip, Yansen Derwanto,
Pilihan Hukum dan Pilihan forum dalam Kontrak Internasional, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.
11. Siegel, David D, Conflict,
West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1982.
12. Sjahdeini, Sutan Remy,
Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam
Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.
CATATAN
KAKI
P.M. North dan J.J. Pawcett, Private International Law,
Butterworth, London, 1987, hlm 7. Lihat juga David D. Siegel, Conflict, West
Publishing Co, St. Paul, Minn, 1982, hlm 4.
J.G. Casterl, op.cit., hlm 59.
Ibid.
Ibid.
Ibid., hlm 60.
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia,
Jilid III Bagian II (Buku 8), Alumni, Bandung, 1978, hlm 210.
Ibid., hlm 211.
Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang
berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie
dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi. Namun apabila
dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara
perdata, misalnya mengenai arbitrase, ketentuan RV dapat dijadikan pedoman.
Sudargo Gautama, op.cit, hlm 211.
Ibid., hlm 213.
Ibid.
Ibid., hlm 233.
Ibid., hlm 234.
Misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau Badan Arbitrase
Syariah Nasional.
Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional,
Alumni, Bandung, 1985, hlm 23.
Lebih lanjut lihat Gary Goodpaster et.al, “Tinjauan terhadap
Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia”, dalam Felix O.
Seobagjo dan Erman Rajagukguk, eds, Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1995, hlm 19-21.
Di dalam kasus-kasus yang sangat rumit, proses penyelesaian
sengketa melalui arbitrase ternyata tidak lebih cepat dari litigasi di
pengadilan. Biayanya terkadang juga lebih tinggi pula, karena pihak harus
membayar arbitrator yang sudah sangat profesional.
Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni,
Bandung, 1986, hlm 10.
Di dalam hukum kontrak, kebebasan berkontrak mencakup: (1)
kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) kebebasan untuk
memilih dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; (3) kebebasan untuk
menentukan atau memilih kausa perjanjian yang akan dibuatnya; (4) kebebasan
untuk menentukan objek perjanjian; (5) kebebasan untuk menentukan isi
perjanjian; (6) kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan
undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend). Lihat Sutan Remy Sjahdeini,
Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam
Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993,
hlm 47.
Kebebasan berkontrak didasarkan pada asas konsensualisme.
Asas ini mendasarkan perjanjian pada kesepakatan (konsensus) para pihak dalam
kontrak. Dengan adanya konsensus tersebut, maka kesepakatan itu menimbulkan
kekuatan mengikat kontrak sebagai mana layaknya undang-undang (pacta sunt
servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi
hukum bagi mereka (cum nexum faciet mancipium que, uti linguaamncuoassit, ita
jus esto). Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya kontrak (verbindende
kracht van de overeenkomst). Ini bukan saja kewajiban moral, tetapi juga
kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati. Perhatikah Ridwan Khairandy,
Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 29.
Yansen Derwanto Latip, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum dalam
Kontrak Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional – Binacipta, Bandung,
1987, hlm 169.
Ibid.
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional,
Badang Pembinaan Hukum Nasional – Binacipta, Bandung, 1987, hlm 169.
Ibid, hlm 64.
Sudargo Gautama, op.cit. … Buku 8, hlm 278.
Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional,
Alumni, Bandung, 1985, hlm 281.
Lihat Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering (R.V)
walaupun sebenarnya ketentuan R.V sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun
oleh karena Herzeine Inland Reglement (HIR) yang mengatur hukum acara perdata
bagi golongan Bumiputra dan yang sekarang digunakan oleh Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi tidak menyebutkan atau mengatur mengenai putusan asing ini,
maka ketentuan R.V. tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman.
Sudargo Gautama, op.cit. Hukum… Buku 8, hlm 279.
M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991,
hlm 437.
Ibid., hlm 438.
Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar